Senin, 21 Mei 2012

Sekjen Kemenag: Operator Haji Tetap Pemerintah


Senin, 21 Mei 2012
JAKARTA (Suara Karya): Penyelenggaraan ibadah haji ada di tangan pemerintah dan tak ada niat eksekutif sebagai eksekutor untuk mengubahnya. Karena, hingga kini tak ada petunjuk atau arahan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyerahkan operasionalisasi rukun Islam kelima itu, kepada pihak swasta atau badan khusus.


Demikian dikemukakan Sekjen Kementerian Agama (Kemenag) Bahrul Hayat kepada Suara Karya, di Jakarta, kemarin. Pernyataan tersebut juga dikemukakan di hadapan sejumlah kepala Kanwil Kemenag pada rapat teknis penyelenggaraan ibadah haji pusat dan daerah tahun 1433 H/2012 M di Jakarta, Rabu (15/5). Rapat berlangsung sejak 15 hingga 17 Mei 2012 sebagai evaluasi penyelenggaraan haji 2011 dan persiapan menghadapi musim haji 2012.
Pada rapat tersebut, Bahrul Hayat sengaja mengangkat isu pokok dalam setahun terakhir. Yaitu, persoalan perbedaan pandangan, siapa sesungguhnya penyelenggara ibadah haji yang pantas. Dibahas pula isu manajemen haji dan keuangan haji.
Khusus mengenai isu penyelenggara ibadah haji, ia mengakui sampai saat ini tak mengalami perubahan, pemerintahlah sebagai penyelenggara ibadah haji. Presiden pun tak memberi arahan penyelenggaraan ibadah haji diserahkan kepada pihak lain.

Sesuai UU
Hal ini sesuai dengan UU No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Operasionalisasi haji bukan di tangan DPR atau DPD. Sesuai undang-undangnya pun, sudah ditegaskan bahwa pemerintahlah sebagai penyelenggara ibadah haji.
"Hal ini sudah final. Dan, sesuai dengan ketentuan yang ada, yaitu yang dilaksankan oleh Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama," ucapnya.
Kecuali jika undang-undangnya sudah diubah. Itu soal lain. Namun, ia menjelaskan, jika pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji diubah dengan maksud bisa ditangani swasta atau pun badan khusus, hal itu sama saja mengulang sejarah. 
Menurut dia, Indonesia pernah mengalami masa suram tatkala penyelenggaraan ibadah haji ada di tangan swasta ataupun berbentuk badan hukum lainnya. "Para kakanwil, harus membaca sejarah ini. Kita harus memetik pelajaran dari masa lalu itu," ujarnya.
Pada zaman kolonial Belanda, jemaah haji mendapat perhatian umat Islam sampai-sampai untuk berangkat haji pun penguasa saat itu memberi pas secara khusus bagi jemaah haji. Sepulang berhaji, hanya orang yang sudah menunaikan ibadah haji sajalah yang dibenarkan mengenakan songko putih. Di luar itu, orang dilarang.
Menjelang kemerdekaan hingga pascamerdeka, Indonesia mencari bentuk pengelolaan penyelenggaraan haji. Pengalaman memperlihatkan, betapa buruknya pelayanan haji yang ditangani swasta. "Sampaikan kepada publik, penyelenggaraan haji sudah mengalami perubahan dan terus menerus mengalami perbaikan," katanya.

Terkait alasan bahwa pemerintah cukup sebagai regulator haji, dan operatornya diserahkan ke badan khusus, ia menyatakan, pernyataan ini sering dikemukakan berbagai pihak. Namun sesungguhnya yang menyangkut pelayanan publik, di situ pemerintah harus hadir.
Fungsi regulasi ada di tangan pemerintah (eksekutif). Eksekutif memiliki tanggung jawab untuk mengatur publik berdasarkan undang-undang yang ada. "Terlebih haji melibatkan banyak pemangku kepentingan dan jumlah jemaah sekitar 221 ribu orang setiap tahun. Apa lagi hal ini menyangkut hajat hidup orang banyak," katanya.
Ia mencontohkan, di Amerika Serikat saja urusan angkutan umum ditangani pemerintah. Bukan swasta. Di Jerman, pendidikan dasar di tangani pemerintah sepenuhnya. Boleh dikelola swasta, tapi kualitasnya harus melebihi sekolah negeri. Dalam penyelenggaraan haji, swasta masih dilibatkan dalam penyelenggaraan ibadah haji khusus. Tetapi tanggung jawab sepenuhnya ada di tangan pemerintah. Ketika jemaah haji khusus sakit dan dirawat di Mekah yang biayanya mencapai miliaran, tanggung jawab tetap di tangan pemerintah.
Dalam pemaparan yang lebih dari satu jam itu, Bahrul Hayat pun menjelaskan rencana ke depan dalam memperbaiki dukungan penyelenggaraan haji. Seperti Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) yang sudah harus direvitalisasi. Kota dan kabupaten di seluruh Indonesia sudah harus memiliki tenaga memadai untuk mendukung teknologi informasinya. (Yudhiarma)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar