Hikmah Haji Rasulullah dalam Melontar Jumrah



Jamaah haji saat melempar Jumrah di Makkah, Arab Saudi. Foto: AP
REPUBLIKA.CO.ID – Berbagai makna yang tersimpan dari pelaksanaan haji Rasulullah sangat banyak. Demikian juga hikmah yang terselubung dari perjalanan haji beliau menuju tempat melontar jumrah.
Dalam hal ini banyak sekali makna yang tersimpan. Pertama, dengan kerikil-kerikil kecil itu sesungguhnya engkau mengumumkan kemenangan berperang melawan setan. Sekaligus menegaskan bahwa engkau hanyalah hamba Allah semata.
Hingga jika saja engkau tidak mengetahui makna yang terselubung ini, sesungguhnya pada kondisi semacam itu engkau menegaskan adanya peperangan yang terus berlangsung antara yang hak dan yang batil.
Sesungguhnya orang-orang yang melempar jumrah menegaskan kebenaran mereka. Mereka menyatakan keikhlasan dalam menghamba kepada Allah. Adapun penghamba dunia, pujian, sanjungan, dan penghargaan dari orang lain sesungguhnya tidak memahami arti melempar jumrah. Mereka tidak mengetahui makna berwukuf di Arafah. Tidak pula mengerti makna thawaf di sekeliling Ka’bah.
Kedua, dalam prosesi melempar jumrah sesunggunnya juga menyimpan arti kemenangan manusia dalam menundukkan hawa nafsu. Sekaligus mengakhiri penghambaan kepada selain Allah.
Rasulullah berpindah lagi untuk melanjutkan tahapan-tahapan prosesi ibadah haji. Kali ini beliau sampai ke Masjtdil Haram. Beliau sampai ke Baitullah untuk melaksanakan thawaf. Beliau hendak memeluk Hajar Aswad. Karena dengan begitu akan mengingatkan kembali segala kenangan yang pernah ada saat bertemu dengan Hajar Aswad.
Beliau tidak kuasa membendung air mata yang mengguyur laksana hujan. Hingga Umar bergegas mendekati beliau. “Apa ini, ya Rasulullah?” tanya Umar keheranan. Beliau menjawab, “Di sini tertuang banyak sekali air mata, wahai Umar!” (HR Ibnu Majah 2/982).
 Hari itu adalah hari pembalasan dendam seluruh jamaah terhadap setan yang selama ini bersimaharajalela menggoda seluruh umat manusia tanpa perlawanan yang berarti.
Hari ini adalah hari kemenangan terhadap musuh yang paling jahat. Dia harus senantiasa menjadi musuh bebuyutan, tidak boleh berubah jadi sahabat. Jangan diberi kesempatan dia bisa menundukkan kembali. Jadikanlah pelajaran itu sebagai pelajaran terakhir menjelang akhir hayat.
Terimalah semua perintah Allah dengan senang dan ridha. Kalau telah melakukannya dengan baik, maka telah menutup semua peluang setan yang hendak menggelincirkan, jangan diberi kesempatan dia menguasai diri lagi. Tidak semua ujian Allah diartikan sebagai tanda kemarahan-Nya, karena kita tidak tahu apa yang disembunyikan dalam qadha-Nya.
Mungkin saja ujian-Nya itu untuk meningkatkan ketaatan  dan Dia hendak melimpahkan pahala-Nya. Ganjaran akan melimpah-ruah bila kita menjauhkan diri dari kemaksiatan kepada-Nya. Dengan demikian derajat kita di sisi-Nya semakin meningkat pula.
Bulatkanlah kejujuran dalam menyambut semua perintah dan larangan-Nya, sekaligus bulatkanlah tekad untuk memenuhinya dengan sebaik-baiknya, dengan senang hati dan puas diri sehingga memberikan alasan kepada-Nya untuk memberikan ganjaran yang setimpal dengan disiplin dan ketaatan.
Sesudah melempari Jumrah Aqabah yang pertama, atau jumrah iblis yang besar, kini sudah bisa melakukan tahallul yang kecil dengan pergi ke Makkah dan melakukan thawaf ifadhah di sana yang merupakan rukun terakhir dari rukun hafi. Sesudah itu barulah menyelesaikan tahallul yang besar yang memperkenankan melakukan apa-apa yang diharamkan sebelumnya.
Perlu selalu diingat, kalau  sudah menunaikan sa’i antara Shafa dan Marwa dalam thawaf haji, maka tidak wajib lagi menunaikan sa’i dalam tawaf ifadhah. Akan tetapi kalau belum melaksanakannya, maka bersa’ilah sesudah thawaf ifadhah.
Ada pula thawaf tathauwu’ dan sa’i tathauwu’ bagi orang yang ingin melipatgandakan pahala. Tidak ada orang yang paling disukai Allah SWT lebih dari yang melakukan ibadah yang difardhukan-Nya, baik shalat, shaum, sedekah, atau ajaran agama lainnya. Pekerjaan itu merupakan pembuktian bahwa kita tidak melakukan apa-apa yang difardhukan Allah saja, tetapi kita menambahnya dengan berbagai pekerjaan tathauwu’ (sukarela) sebagai ungkapan rasa cinta kita pada peribadahan kepada Allah SWT.
Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Hannan Putra
Sumber: Al-Misk wa Al-Anbar oleh Syekh Aidh Al-Qarni

Sumber:
http://www.jurnalhaji.com/2012/05/09/hikmah-haji-rasulullah-dalam-melontar-jumrah-1/
http://www.jurnalhaji.com/2012/04/20/antara-ketaatan-dan-akal-ketika-haji-2-habis/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar